Jumat, 17 Desember 2021

SIRINE KEMATIAN


Kedua kaki ukuran 36-ku melangkah keluar dari lobby IGD rumah sakit, menunggu pak sopir taksi online menjemput. Tiba-tiba mobil ambulance dengan suara nyaring di telinga berhenti tak jauh di depanku. Pintu belakangnya terbuka, terlihat satu orang perawat keluar dan bergegas mengangkat seorang pasien yg tergolek di pelbet, laki-laki paruh baya dengan selang oksigen tertancap di hidung. Bibirnya membiru, matanya terbelalak seperti ingin loncat keluar. Pelbet lalu didorong dengan penuh tergesa ke dalam ruang tindakan. Ketika ia melewatiku, mata kami saling bertemu. Dengan nafas cepat dan terengah-engah, laki-laki paruh baya itu menatap ku dengan tatapan putus asa.

Perawat yang lain dengan sigap membantu keadaan tersebut. Kepanikan seketika menjalar ke sekitar. Tubuhku mematung, tiba-tiba beku. Kakiku rasanya seperti terpaku. Pemandangan ini terlalu memilukan buatku. Memicu sebuah kenangan yang tiba-tiba membawaku kembali ke dua belas tahun yang lalu. 

Saat itu aku masih kelas enam SD, sedang asyik menonton film horror bersama sepupu-sepupuku yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Aku ingat, baru di menit pertama film di putar tiba-tiba Nenekku berteriak minta tolong. Pamanku gelagapan dan segera menghampiri. Aku berlari di belakangnya. Kami terhenti di ruangan solat rumahku. Dengan sarung yang masih rapih di pakainya, Ayahku tergeletak tak berdaya diatas sajadah yang belum selesai di lipat. Bibirnya biru, matanya terbelalak, lidahnya tergigit sampai berdarah, tangan dan kakinya kejang, tak terlihat bernafas. Aku menghambur memeluk dadanya, memastikan jantungnya masih berdetak. 

Pamanku menyingkirkanku darisana, dorongannya cukup kuat sampai-sampai aku mundur beberapa langkah ke belakang. Ayahku digotong keluar ruangan. Nafasku sesak. Lututku lemas. Gigiku bergemeletuk ketakutan. Tak tahu harus berbuat apa. Lalu aku tersadar dan dengan cepat berlari ke arah telepon. Dengan suara terbata-bata, aku menelepon Ibuku untuk segera pulang ke rumah. Ayahku sudah dibawa ke rumah sakit. 10 menit kemudian Ibuku datang dan dengan segera menyusul kesana. Aku memeluk kedua adikku yang saat itu usianya masih lima dan satu tahun. Menunggu kabar dari rumah dengan harap-harap cemas. Nenekku sibuk mengabari sanak keluarga yang lain.  

Satu jam kemudian, pertama kalinya aku melihat sendiri ambulance dari jarak dekat. Terparkir di halaman rumah. Bunyi sirinenya masih terngiang sampai sekarang.  Nenek dan keluargaku yang baru datang menghambur keluar penuh isak tangis saat mobil putih itu tiba. Aku kebingungan. Ada apa ini? 

Pintu belakang ambulance terbuka. Ada ayahku disana. Yg terbaring diatas pelbet rumah sakit. Seperti sedang tertidur tapi dengan kulit pucat. Tubuhnya kaku. Kedua kakinya dirapatkan dengan ikatan kain berwarna putih. Kedua tangannya dilipat diatas perut. Dengan perban yg terikat dari bawah dagu sampai ubun-ubun kepala dan hidung yang disumpal kapas. Saat itu pula aku tau, ayahku telah wafat. Nenek dan ibuku berteriak histeris, bude-budeku saling memeluk satu sama lain. Aku dan adik-adikku menangis ketakutan. 

Rasanya seperti disambar petir. Dada seperti dihamtam palu godam sampai dalam. 

"Ayahku.. wafat? Baru tadi siang beliau mengajakku makan es krim ramai-ramai dengan ponakannya. Ini, mimpi buruk." kataku dalam hati.

Satu hari sebelumnya, Ayahku menggodaku. "Ah kamu mah oon mana bisa dapet nilai ujian bagus."

Satu minggu setelah kematian Ayahku, datang satu surat yang dikirimkan langsung ke rumah oleh guruku. Surat keterangan. Nilai ujian kelulusanku jadi yang paling tinggi satu sekolah. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · PERMANA BELLA | THEME BY RUMAH ES