Hari : Sabtu
Tanggal : 06 Mei 2017
Jam :
09.00 sampai selesai
Tepat dimana laki-laki itu menikah dengan perempuan barunya.
Perempuan yang baru empat bulan dikenalnya. Yang Ia fikir lebih pantas menjadi
navigator bahtera rumah tangganya nanti.
Yang Ia fikir bisa memperbaiki kualitas keturunannya kelak. Undangan bersampul cokelat itu kini sampai ke tanganku. Undangan pernikahan laki-laki yang sampai detik ini tetap menjadi kecintaan. Sakit rasanya mengingat aku adalah yang dulu jadi perempuannya. Yang rela pulang pergi Kupang-Jakarta untuk sekedar melampiaskan sebuah kerinduan. Tiga tahun menjalin hubungan terasa sia-sia.
Yang Ia fikir bisa memperbaiki kualitas keturunannya kelak. Undangan bersampul cokelat itu kini sampai ke tanganku. Undangan pernikahan laki-laki yang sampai detik ini tetap menjadi kecintaan. Sakit rasanya mengingat aku adalah yang dulu jadi perempuannya. Yang rela pulang pergi Kupang-Jakarta untuk sekedar melampiaskan sebuah kerinduan. Tiga tahun menjalin hubungan terasa sia-sia.
Kuakui,
perempuannya saat ini memang jauh lebih cantik dan lebih menarik dariku. Dan mungkin itulah
yang menjadi penyebab utama dia dengan mudahnya mengakhiri semuanya. Mengakhiri
semua perjalanan indah yang berujung tragis. Semua sudah kuberikan kepadanya.
Biaya pendidikan kejuruannya aku yang menanggung, biaya orang tuanya yang sempat koma aku yang membiayai, sampai kesucianku telah kugadaikan dengan jaminan sebuah pernikahan kelak. Percakapan singkat via telepon itu masih jelas kuingat.
Biaya pendidikan kejuruannya aku yang menanggung, biaya orang tuanya yang sempat koma aku yang membiayai, sampai kesucianku telah kugadaikan dengan jaminan sebuah pernikahan kelak. Percakapan singkat via telepon itu masih jelas kuingat.
Satu bulan yang lalu…
“Maaf Andini, Aku rasa hubungan ini sudah tidak bisa
dilanjut lagi”
“Apa maksud kamu?
Tolong jelaskan”
“Iya Din, Aku sudah lelah dengan hubungan jarak jauh ini.
Aku sudah lelah menyimpan rindu yang tak ada pelampiasannya.”
“Bagas, apa kurang, Aku setiap bulan terbang ke Kupang untuk menemuimu ?”
“Bukan, bukan itu. Hanya saja semua terasa begitu berbeda
sekarang”
“Berbeda kenapa ? Apa rasa sayangmu sudah mulai hilang hanya
karena jarak?!”
“Ah
sudahlah, Aku tidak mau berdebat. Aku sudah menyayangi orang lain sekarang.
Yang lebih mengerti keadaanku. Yang selalu ada disetiap lelahku. Yang setia
mengantar bekal makan siang ke kantor. Yang benar- benar menjadi seorang teman,
bahkan lebih dari teman. Aku sudah menemui keluarganya, membicarakan sesuatu
yang dari dulu tidak ingin kamu bicarakan denganku”
“Teganya kamu, Gas.”
“Aku
akan menikah dengannya, satu bulan lagi. Maaf Andini, umurku yang semakin tua
memaksaku mencari kejelasan dari setiap perempuan yang kukenal. Kamu masih
dalam masa kuliah Andini, butuh waktu dua sampai tiga tahun lagi untukku
menikahimu. Menunggumu bergelar S1. Disisi lain keluargaku terus mendesak untuk
segera menikah. Aku masih ingat ketika kamu bilang kamu masih terlalu muda
untuk menikah. Sampaikan permintaan maafku untuk orang tuamu, Din. Dan terima kasih juga karena kamu
adalah alasan dibalik kesuksesanku kini, itu point yang tidak bisa aku lupakan.
Sekali lagi, maaf.”
Keegoisan
macam apa itu ? Hancur rasanya. Tali pengaharapan yang ku gantung tinggi-tinggi
lalu diputuskan begitu saja. Putus dengannya bukan hanya melukai hatiku tapi
juga menghancurkan semangatku dan menorehkan malu di keluarga.
Dua
minggu sebelum pernikahan, Aku memutuskan untuk memintanya bertemu. Permohonan
terakhir sebelum ia terikat dengan sebuah hubungan sakral, Bagas menyetujui
pertemuan itu. Kami bertemu di taman dekat dengan komplek rumahku. Di pertemuan
itu kami membicarakan hal yang dari dulu tak pernah dibicarakan sebelumnya,
akhir dari sebuah hubungan. Klarifikasi dari semua hal yang masih menggantung,
kucoba meyakinkannya untuk tetap disini, tetap menjadi seperti apa yang dulu.
Tapi Ia teguh pada pendiriannya, menikahi gadis itu. Hujan sore itu
memaksa kami pulang ke rumahku. Rumah yang kutinggali seorang diri. Rumah yang
rencananya akan menjadi tempat tinggal kami berdua setelah menikah nanti.
Drrrtt… Drrrttt….
Telepon
genggamnya bergetar, dirogohnya benda itu dari kantong celana jeans selututnya,
di layar bertuliskan “ Mariska” dengan emoticon love di belakangnya. Aku
terbakar cemburu, kurampas benda itu dari tangannya. Kulempar ke tembok sampat
terlihat benda itu hancur berserakan di lantai. Bagas emosi dan mulai memaki
dengan kata-kata kasar, aku ikut terbawa suasana. Kami berdebat dengan nada
tinggi, air mata mulai tak tertahankan, pelahan mulai mengalir membasahi pipi.
Perdebatan yang menyisakan sebuah luka. Malam hari setelah perdebatan itu,
Bagas memutuskan menginap dirumahku, tidur di kamar tamu di sebelah dapur.
Malam itu adalah malam yang panjang. Malam dimana aku memaksanya untuk tetap
menjadi kepunyaanku.
Pagi
hari, laki-laki itu sudah menjadi milikku seutuhnya. Ia masih duduk manis di
sofa loteng rumahku. Tubuhnya tak lagi hangat tapi itu tetap tidak mengubah
apapun terhadap perasaaanku. Masih terlihat memar di lehernya, bekas jeratan
kawat semalam. Tubuhnya sudah mulai kaku, ekspresi wajahnya memang sedikit
kuubah dengan sedikit senyuman. Baju kaosnya kuganti dengan setelan jas hitam
dan dasi kupu-kupu. Tidak lupa kupoleskan sedikit lipstick merah di bibirnya
agar tetap terlihat segar. Kini Ia menepati janjinya, selalu bersama denganku.
Sehidup, semati.
Sehidup, semati.
Ps : Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tanpa unsur kesengajaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar