Senin, 18 Desember 2017

Sudah Siap Untuk Menikah ?



Source

Seperti halnya manusia normal yang senang bersosialisasi, saya sering diajak nimbrung oleh temannya-teman-saya-yang punya-teman-lagi untuk sekedar nongkrong-nongkrong cantique di cafĂ© hitz. Seperti biasa, kalo ngobrol sama orang baru pasti yang ditanya adalah hal hal basic pada umumnya, seperti sekolah dimana, kerja dimana, rumah dimana, ukuran celana dalemnya berapa, lama banget sampe kopi saya yang tadinya panas berubah jadi dingin. Sedingin perlakuanmu terhadapqu. 

Setelah ngobrol ngalor ngidul akhirnya keluar juga pertanyaan yang menggetarkan nurani .

Kapan nikah ? 

Saya lebih baik jawab ukuran celana dalem saya berapa daripada jawab pertanyaan kapan nikah.
Bukan soal gimana gimananya tapi itu pertanyaan yang membuat saya  harus menjawabnya  dengan jawaban sepanjang 100km dengan kecepatan bicara 150m/-jam, saking excitednya. Mereka nanya kaya gitu karena mereka memang kenal dengan beberapa teman seangkatan saya yang baru baru ini menikah. Lebih tepatnya lagi, menikah muda.

Jujur saya salut dengan mereka yang memilih menikah muda.  Kalo kata Bapak saya mah masih anom. Ya gimana gak salut, di umur yang masih muda banget, mereka bulat dengan keputusannya untuk menikah. 

Beda dengan yang bunting duluan, itu mah nikah kepaksa. 

Disaat yang seusia saya masih ribet ngurusin hidupnya sendiri, mereka berani ambil resiko untuk ngurusin hidup orang lain. Hidup pasangannya. Karena kalo menikah kita sudah nggak bisa bergantung sama orang tua lagi, harus sama pasangan. HARUS. 

Bukan berarti orang tua lepas tanggung jawab terhadap anaknya, karena mau bagaimanapun juga anak tetaplah anak. Tanggung jawab itu tetap, hanya saja kapasitasnya sudah berbeda. Yang maksudnya gini, saat udah menikah, nggak mungkin dong nafkah masih dari orang tua. Baik itu kebutuhan primer atau sekunder ya itu jadi tanggung jawab bersama, bukan dari orang tua lagi. 

Menikah itu berat, nggak sembarangan. 

Dulu, saat saya lagi under pressure banget soal permasalahan kehidupan, saking gak kuatnya saya sampe punya pemikiran ah capek kayak gini, stress, mendingan nikah aja, enak

Saat itu pola pikir saya masih sangat sempit dan berasumsi bahwa menikah itu enak, gak ngapa-ngapain dan dapat mengakhiri “penderitaan” yang saat itu saya rasakan. Setelah mulai dewasa, saya banyak belajar dan sadar bahwa menikah itu nggak seenak dan segampang keliatannya. 

Iya, menikah adalah tanda kemenangan. Kemenangan atas cinta yang telah diperjuangkan. Juga kemenangan atas kedewasaan dimata orang lain. Tapi jangan lupa, menikah juga butuh kesiapan yang nggak main-main.

Karena menikah bukan cuma soal kamu dan pasangan. Tapi juga menyatukan dua keluarga dengan dua budaya dan kebiasaan yang berbeda. Harus menerima dia dan ayah ibunya, adik dan kakaknya, neneknya, omnya, tantenya daaaann semua keluarganya.

Ketika menikah, kita harus siap menghabiskan sisa hidup dengan setia kepada satu orang saja. Bangun tidur liat muka dia, mau tidur liat muka dia lagi. Dan itu bukan sehari dua hari. Itu akan terjadi selama sepuluh bahkan lima puluh tahun ke depan. 

Harus siap menghadapi “kehidupan yang sebenarnya” dimana pahit dan manis ada disana. Harus siap merawat, mengabdi pada pasangan. Siap jadi orang tua. Untuk perempuan, harus siap tiap pagi mual-mual, mabok karena hamil. 

Dan puncaknya adalah, siap mempertaruhkan hidup dan mati pada saat melahirkan. Apalagi yang masih di usia muda. Lebih beresiko. Bukan soal fisik, tapi soal mental.

Setelah si anak lahir kan nggak mungkin dong geletakin gitu aja. Harus dirawat, dibesarkan, dididik moral dan akhlaknya.

Jadi, sudah siap menikah ?

Saya belum.

Saat ini saya belum.

Secara lahir dan batin mungkin progressnya sudah 45%. Tapi secara finansial, masih banyak kurangnya.

Sebagai perempuan, saya nggak mau semua embel-embel pernikahan dilimpahkan ke pihak laki-laki. Saya juga harus turut andil. Soal biaya menikah itu memang random, ada yang memilih dirayakan sederhana dan ada juga yang dirayakan dengan resepsi impian. Tapi ya tetep si, yang laki-laki lebih dominan :p

Oke rumah udah ada. Isinya gimana ?

Peralatan rumah tangga yang kecil-kecil dah, yang sering dianggap sepele padahal butuh. Contohnya kaya peralatan dapur. Untuk nyediain kopi ke tamu itu pake cangkir pisin. Untuk panci set juga harus beli yang bagus biar awet daripada beli yang limapuluhrebuan tapi seminggu udah patah. Nggak apa-apa saya ngeluarin uang banyak, toh untuk kedepannya juga, untuk jangka waktu lama dan untuk kebutuhan bersama.

Jadi minimal punya pegangan untuk bebelian.

Saya juga punya keinginan jika sudah menikah nanti saya nggak mau jadi mama rumah tangga yang nggak menghasilkan. Yang nggak ngapa-ngapain gitu, leyeh leyeh di rumah. Saya harus punya income sendiri. Di sisi lain saya harus tau porsi, karena akan ada fase dimana anak atau suami mulai membutuhkan perhatian lebih. 

Perempuan harus punya keahlian agar nanti nggak sepenuhnya bergantung pada laki-laki. Perempuan selain harus cantik, juga harus mandiri. Karena mandiri itu tak dilihat dari kapan dimana dan sama siapa.

Bukannya mau menomor duakan keluarga sebagai prioritas. Tapi setidaknya kalo punya penghasilan , saya bisa ikut membantu suami, atau bilamana ada keluarga yang butuh bantuan saya bisa bantu tanpa harus minta ke suami. Saya juga masih bisa sedikit memberi ke orang tua dan adik-adik. 

Juga jaga-jaga seandainya terjadi hal-hal yang amit amit banget. Kayak suami sakit lalu nggak bisa kerja otomatis istri yang pegang kendali. Bercerai atau suami “pergi duluan”,  jadi kita sudah punya modal dan nggak hilang arah untuk melanjutkan hidup. No offense, nggak ada yang tau ke depannya akan seperti apa.

Kita hidup di zaman millenial dimana semua tidak semudah dulu. 

Semakin tua maka tuntutan hidup akan semakin banyak. Bagus kalo suami sudah mapan, nah kalo belum ?  Butuh double engine untuk menutupi segala kebutuhan hidup. Untuk punya penghasilan nggak harus kerja diluar rumah kok. Zaman sudah maju, rezeki bisa didapat darimana saja asalkan ada niat dan usaha. Ya I think its really possible. 

Nanti suami kan juga seneng

Wah bini gua selain pinter masak, pinter melayani juga pinter cari duit nih

Kan jadi bangga dia. LOL.

Tapi tetep, semua tergantung izin suami. Sebagai seorang makmum, istri harus nurut sama suami, asal suaminya bener. Yaiyalah kalo nggak bener mah jangan diikutin. 

Contoh, suami pengangguran hobi mabok mabokan, kerjanya malakin orang  dan melarang istri untuk cari penghasilan, lah anak mau makan apaaa ? Makan dari uang hasil malak ? Saya sih ogah, karena itu tydac barokah Mas, Om, Tante dan seluruh rakyat nyata maupun gaib. 

Pernikahan selain didasari cinta juga harus pake logika.

Jangan jadikan juga pernikahan sebagai penghalang seseorang dalam menggapai impian dan passionnya. Ini bukan egoisme, ini tentang saling support. 

Saya juga begitu, akan dukung apapun passion suami.

Tapi kalo dia punya impian jadi girlband, saya unsupport.

Yaiyalah ! Girlband bok ! 

Saya mah klontrang klontreng gogosrek di rumah ye kan eh dia joget joget cantik di panggung. Terus tiba-tiba anak saya nunjuk nunjuk tipi, mah itu papa lagi ngapain ? YHAAAAA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COPYRIGHT © 2017 · PERMANA BELLA | THEME BY RUMAH ES