Source |
Seperti halnya manusia normal yang senang
bersosialisasi, saya sering diajak nimbrung oleh temannya-teman-saya-yang
punya-teman-lagi untuk sekedar nongkrong-nongkrong cantique di café hitz. Seperti
biasa, kalo ngobrol sama orang baru pasti yang ditanya adalah hal hal basic
pada umumnya, seperti sekolah dimana, kerja dimana, rumah dimana, ukuran celana
dalemnya berapa, lama banget sampe kopi saya yang tadinya panas berubah jadi
dingin. Sedingin perlakuanmu terhadapqu.
Setelah ngobrol ngalor ngidul akhirnya keluar juga
pertanyaan yang menggetarkan nurani .
Kapan nikah ?
Saya lebih baik jawab ukuran celana dalem saya berapa
daripada jawab pertanyaan kapan nikah.
Bukan soal gimana gimananya tapi itu pertanyaan yang membuat
saya harus menjawabnya dengan jawaban sepanjang 100km dengan
kecepatan bicara 150m/-jam, saking excitednya. Mereka nanya kaya gitu karena
mereka memang kenal dengan beberapa teman seangkatan saya yang baru baru ini
menikah. Lebih tepatnya lagi, menikah muda.
Jujur saya salut dengan mereka yang memilih menikah muda. Kalo kata Bapak saya mah masih anom. Ya gimana
gak salut, di umur yang masih muda banget, mereka bulat dengan keputusannya
untuk menikah.
Beda dengan yang bunting duluan, itu mah nikah kepaksa.
Disaat yang seusia saya masih ribet ngurusin hidupnya
sendiri, mereka berani ambil resiko untuk ngurusin hidup orang lain. Hidup
pasangannya. Karena kalo menikah kita sudah nggak bisa bergantung sama orang tua
lagi, harus sama pasangan. HARUS.
Bukan berarti orang tua lepas tanggung jawab terhadap
anaknya, karena mau bagaimanapun juga anak tetaplah anak. Tanggung jawab itu
tetap, hanya saja kapasitasnya sudah berbeda. Yang maksudnya gini, saat udah
menikah, nggak mungkin dong nafkah masih dari orang tua. Baik itu kebutuhan primer
atau sekunder ya itu jadi tanggung jawab bersama, bukan dari orang tua lagi.
Menikah itu berat, nggak sembarangan.
Dulu, saat saya lagi under pressure banget soal permasalahan
kehidupan, saking gak kuatnya saya sampe punya pemikiran ah capek kayak gini, stress, mendingan nikah aja, enak.
Saat itu pola pikir saya masih sangat sempit dan berasumsi
bahwa menikah itu enak, gak ngapa-ngapain dan dapat mengakhiri “penderitaan”
yang saat itu saya rasakan. Setelah mulai dewasa, saya banyak belajar dan sadar
bahwa menikah itu nggak seenak dan segampang keliatannya.
Iya, menikah adalah tanda kemenangan. Kemenangan atas cinta
yang telah diperjuangkan. Juga kemenangan atas kedewasaan dimata orang lain.
Tapi jangan lupa, menikah juga butuh kesiapan yang nggak main-main.
Karena menikah bukan cuma soal kamu dan pasangan. Tapi juga
menyatukan dua keluarga dengan dua budaya dan kebiasaan yang berbeda. Harus
menerima dia dan ayah ibunya, adik dan kakaknya, neneknya, omnya, tantenya
daaaann semua keluarganya.
Ketika menikah, kita harus siap menghabiskan sisa hidup dengan
setia kepada satu orang saja. Bangun tidur liat muka dia, mau tidur liat muka
dia lagi. Dan itu bukan sehari dua hari. Itu akan terjadi selama sepuluh bahkan
lima puluh tahun ke depan.
Harus siap menghadapi “kehidupan yang sebenarnya” dimana
pahit dan manis ada disana. Harus siap merawat, mengabdi pada pasangan. Siap
jadi orang tua. Untuk perempuan, harus siap tiap pagi mual-mual, mabok karena
hamil.
Dan puncaknya adalah, siap mempertaruhkan hidup dan mati pada
saat melahirkan. Apalagi yang masih di usia muda. Lebih beresiko. Bukan soal
fisik, tapi soal mental.
Setelah si anak lahir kan nggak mungkin dong geletakin gitu
aja. Harus dirawat, dibesarkan, dididik moral dan akhlaknya.
Jadi, sudah siap menikah ?
Saya belum.
Saat ini saya belum.
Secara lahir dan batin mungkin progressnya sudah 45%. Tapi
secara finansial, masih banyak kurangnya.
Sebagai perempuan, saya nggak mau semua embel-embel
pernikahan dilimpahkan ke pihak laki-laki. Saya juga harus turut andil. Soal
biaya menikah itu memang random, ada yang memilih dirayakan sederhana dan ada
juga yang dirayakan dengan resepsi impian. Tapi ya tetep si, yang laki-laki
lebih dominan :p
Oke rumah udah ada. Isinya gimana ?
Peralatan rumah tangga yang kecil-kecil dah, yang sering
dianggap sepele padahal butuh. Contohnya kaya peralatan dapur. Untuk nyediain
kopi ke tamu itu pake cangkir pisin. Untuk panci set juga harus beli yang bagus
biar awet daripada beli yang limapuluhrebuan tapi seminggu udah patah. Nggak
apa-apa saya ngeluarin uang banyak, toh untuk kedepannya juga, untuk jangka
waktu lama dan untuk kebutuhan bersama.
Jadi minimal punya pegangan untuk bebelian.
Saya juga punya keinginan jika sudah menikah nanti saya
nggak mau jadi mama rumah tangga yang nggak menghasilkan. Yang nggak
ngapa-ngapain gitu, leyeh leyeh di rumah. Saya harus punya income sendiri. Di
sisi lain saya harus tau porsi, karena akan ada fase dimana anak atau suami mulai
membutuhkan perhatian lebih.
Perempuan harus punya keahlian agar nanti nggak sepenuhnya
bergantung pada laki-laki. Perempuan selain harus cantik, juga harus mandiri.
Karena mandiri itu tak dilihat dari kapan dimana dan sama siapa.
Bukannya mau menomor duakan keluarga sebagai prioritas. Tapi
setidaknya kalo punya penghasilan , saya bisa ikut membantu suami, atau
bilamana ada keluarga yang butuh bantuan saya bisa bantu tanpa harus minta ke
suami. Saya juga masih bisa sedikit memberi ke orang tua dan adik-adik.
Juga jaga-jaga seandainya terjadi hal-hal yang amit amit
banget. Kayak suami sakit lalu nggak bisa kerja otomatis istri yang pegang
kendali. Bercerai atau suami “pergi duluan”, jadi kita sudah punya modal dan nggak hilang
arah untuk melanjutkan hidup. No offense, nggak ada yang tau ke depannya akan
seperti apa.
Kita hidup di zaman millenial dimana semua tidak semudah
dulu.
Semakin tua maka tuntutan hidup akan semakin banyak. Bagus kalo suami sudah
mapan, nah kalo belum ? Butuh double
engine untuk menutupi segala kebutuhan hidup. Untuk punya penghasilan nggak
harus kerja diluar rumah kok. Zaman sudah maju, rezeki bisa didapat darimana
saja asalkan ada niat dan usaha. Ya I think its really possible.
Nanti suami kan juga seneng
Wah bini gua selain
pinter masak, pinter melayani juga pinter cari duit nih
Kan jadi bangga dia. LOL.
Tapi tetep, semua tergantung izin suami. Sebagai seorang
makmum, istri harus nurut sama suami, asal suaminya bener. Yaiyalah kalo nggak
bener mah jangan diikutin.
Contoh, suami pengangguran hobi mabok mabokan, kerjanya
malakin orang dan melarang istri untuk
cari penghasilan, lah anak mau makan apaaa ? Makan dari uang hasil malak ? Saya
sih ogah, karena itu tydac barokah Mas, Om, Tante dan seluruh rakyat nyata
maupun gaib.
Pernikahan selain didasari cinta juga harus pake logika.
Jangan jadikan juga pernikahan sebagai penghalang seseorang
dalam menggapai impian dan passionnya. Ini bukan egoisme, ini tentang saling
support.
Saya juga begitu, akan dukung apapun passion suami.
Tapi kalo dia punya impian jadi girlband, saya unsupport.
Yaiyalah ! Girlband bok !
Saya mah klontrang klontreng gogosrek di rumah ye kan eh dia
joget joget cantik di panggung. Terus tiba-tiba anak saya nunjuk nunjuk tipi,
mah itu papa lagi ngapain ? YHAAAAA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar