Dagu ini menengadah ke luasnya langit gelap yg sesekali di kerlipkan cahaya ibukota, mengapa hanya kami ?
Disini di atas kemajuan zaman, ada satu belenggu yang terus lekat. Beranak, menjadi remaja sampai beranjak dewasa. Yang tua, mungkin sudah lupa.
Pikirku sesekali meliar, seandainya ada satu hari saja dimana belenggu ini bisa kami lepas tanpa harus bertabrakan dengan rasa malu, dengan moral atau dengan urusan agama.
Binal ! Katanya, seandainya satu hari itu benar terjadi.
Pikirku kembali melunak. Benar juga, terkadang belenggu ini yang-mau-tak-mau menjadi penjadi pelindung atas simbol keperempuanan kami. Dimana martabat, seksualitas sampai kekuatan seorang ibu terkadung dibaliknya.
Belenggu itu,
menjadi ringkih saat diajak berlari. Menjadi ganjal saat diajak terbaring. Menjadi sumber kesesakan kami ! Hanya di malam hari kami bisa melepas penatnya belenggu ini. Hanya di malam hari kami merasakan kebebasan sebagaimana yg dirasa laki-laki.
Belenggu itu, bernama beha.