![]() |
Source |
Halo, apa kabar ? Semoga selalu sejahtera untuk semua
pembaca. Surat terbuka ini kubuat bukan untuk mencari simpati. Bukan pula
sebagai ajang pertunjukan. Surat ini kubuat hanya untuk menyampaikan beberapa
hal yang tak mungkin lagi kusampaikan langsung kepada sang tertuju, mengingat
isi dari tulisan ini sedikit mengungkit kisah yang telah lama usai.
Untukmu, yang tak kulantangkan namanya disini.
Untukmu, yang dulu pernah tinggal dan kini tanggal.
Untukmu, yang pernah menjadi alasanku tersenyum dari
hari-hari lalu.
Untukmu, yang pergi begitu saja meninggalkanku tenggelam
dalam keterpurukan.
Untukmu, yang pernah membuatku bangkit dari luka tapi pada
akhirnya kaulah yang kembali mencabik luka itu menjadi lebih dalam dari yang sebelumnya.
Untukmu, yang menghancurkan hari spesialku dan membuatku
membenci hari ulang tahunku sendiri. Ucapanmu waktu itu masih menjadi kado paling
menyeramkan sejauh ini.
Perkenankan aku untuk menulis kesahku disini. Anggap saja
ini adalah dongeng yang sering kujanjikan padamu. Bedanya, kisahnya bukan lagi
dongeng sang putri dan para kurcaci.
Kepadamu, Tuan. Terima kasih.
Aku telah memaafkanmu.
Meski kutau, itu tidak lagi kau butuhkan. Apapun yang hadir
dari diriku, sudah tak lagi kau pedulikan bukan ?
Kita pernah merayakan kasih. Pernah pula merayakan
kehilangan. Ya, kita memang pernah sebodoh itu. Menjamu perpisahan dengan
perayaan. Menyisakan air mata sepanjang malam setelahnya. Membuatku berteman
dengan rasa bernama sendu.
Sekarang ku kabarkan. Rasa sakitnya kini membaik. Amarah
mulai meramah dan tak lagi menjarah. Aku tak lagi memaki keadaan. Karena telah kupahami, untuk apa
menyalahkan keadaan jika pada dasarnya kau lah yang tak mau berjuang. Aku
hanya ingin memberitahukan padamu, aku berhasil melewatinya. Aku menang melawan
egoku yang terus menerus berpihak padamu. Aku bisa memaafkan dengan tanpa
membencimu.
Dulu, aku memperjuangkanmu sebagai objek di depan orang
tuaku. Selepas kau pergi, aku memperjuangkan subjek, yaitu hak bebas pilihku.
Berat rasanya berjuang sendirian, penuh debat dan derai air mata. Tapi pada
akhirnya aku berhasil melunakkan prinsip mereka, meyakinkan bahwa suku tidak
menjadi tolak ukur kepribadian seseoang. Aku diberi kebebasan untuk memilih
siapa saja. Asalkan dia orang yang baik dan menerimaku apa adanya.
Darinya, aku banyak belajar bahwa apapun dapat kuraih asal
aku mau memperjuangkan. Rasa sakit ini mengajarkanku banyak hal. Tentang
kesabaran dan keikhlasan, sampai aku bisa setangguh sekarang. Yang siap berperang
melawan apapun yang akan terjadi di masa
yang akan datang.
Saat ini, hati dan hari ku sudah mulai berdamai. Senyum yang
hilang mulai terlukis lagi. Kau bukan lagi yang kupikirkan. Aku sudah
melepasmu. Meninggalkanmu disana, di ruang memori yang tak akan kubuka lagi.
Mungkin, kau akan berpikir bahwa aku sangat berlebihan dalam menyikapi sebuah
perpisahan. Tapi aku masa bodoh soal itu. Aku tak peduli dengan pendapatmu
selepas membaca surat terbuka ini.
Kini, kau bebas bertualang kemana pun kau mau. Berbaktilah,
bahagiakan orang tuamu. Tak perlu sungkan. Tak perlu berpura-pura menjaga perasaanku
lagi, karena rasa iba-mu sudah tak lagi kubutuhkan. Rasa bersalah dan belas
kasih mu sudah tidak ada apa-apanya lagi buatku.
Aku hanya titip satu hal.
Ibumu perempuan, adikmu perempuan atau mungkin anakmu kelak
perempuan. Maka, perlakukanlah dengan baik kepada perempuan setelahku yang
entah siapapun itu. Jaga dia, jaga kehormatannya. Perjuangkan dia jika memang
menurutmu baik.
Di akhir surat ini, dengan tanpa mengurangi rasa hormatku
padamu. Izinkanku untuk tak lagi mempedulikanmu.
Salam,
Dariku, yang pernah jadi perempuanmu.
Note : Artikel ini di posting juga di kompasiana