Rabu, 16 Januari 2019

Surat Terbuka Untukmu Yang Pernah Meninggalkanku


Source
Halo, apa kabar ? Semoga selalu sejahtera untuk semua pembaca. Surat terbuka ini kubuat bukan untuk mencari simpati. Bukan pula sebagai ajang pertunjukan. Surat ini kubuat hanya untuk menyampaikan beberapa hal yang tak mungkin lagi kusampaikan langsung kepada sang tertuju, mengingat isi dari tulisan ini sedikit mengungkit kisah yang telah lama usai. 

Untukmu, yang tak kulantangkan namanya disini.

Untukmu, yang dulu pernah tinggal dan kini tanggal.

Untukmu, yang pernah menjadi alasanku tersenyum dari hari-hari lalu.

Untukmu, yang pergi begitu saja meninggalkanku tenggelam dalam keterpurukan.

Untukmu, yang pernah membuatku bangkit dari luka tapi pada akhirnya kaulah yang kembali mencabik luka itu menjadi lebih dalam dari yang sebelumnya.

Untukmu, yang menghancurkan hari spesialku dan membuatku membenci hari ulang tahunku sendiri. Ucapanmu waktu itu masih menjadi kado paling menyeramkan sejauh ini.

Perkenankan aku untuk menulis kesahku disini. Anggap saja ini adalah dongeng yang sering kujanjikan padamu. Bedanya, kisahnya bukan lagi dongeng sang putri dan para kurcaci.

Kepadamu, Tuan. Terima kasih.
Aku telah memaafkanmu.

Meski kutau, itu tidak lagi kau butuhkan. Apapun yang hadir dari diriku, sudah tak lagi kau pedulikan bukan ?

Kita pernah merayakan kasih. Pernah pula merayakan kehilangan. Ya, kita memang pernah sebodoh itu. Menjamu perpisahan dengan perayaan. Menyisakan air mata sepanjang malam setelahnya. Membuatku berteman dengan rasa bernama sendu.

Sekarang ku kabarkan. Rasa sakitnya kini membaik. Amarah mulai meramah dan tak lagi menjarah. Aku tak lagi memaki keadaan. Karena telah kupahami, untuk apa menyalahkan keadaan jika pada dasarnya kau lah yang tak mau berjuang. Aku hanya ingin memberitahukan padamu, aku berhasil melewatinya. Aku menang melawan egoku yang terus menerus berpihak padamu. Aku bisa memaafkan dengan tanpa membencimu.

Dulu, aku memperjuangkanmu sebagai objek di depan orang tuaku. Selepas kau pergi, aku memperjuangkan subjek, yaitu hak bebas pilihku. Berat rasanya berjuang sendirian, penuh debat dan derai air mata. Tapi pada akhirnya aku berhasil melunakkan prinsip mereka, meyakinkan bahwa suku tidak menjadi tolak ukur kepribadian seseoang. Aku diberi kebebasan untuk memilih siapa saja. Asalkan dia orang yang baik dan menerimaku apa adanya.

Darinya, aku banyak belajar bahwa apapun dapat kuraih asal aku mau memperjuangkan. Rasa sakit ini mengajarkanku banyak hal. Tentang kesabaran dan keikhlasan, sampai aku bisa setangguh sekarang. Yang siap berperang melawan  apapun yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Saat ini, hati dan hari ku sudah mulai berdamai. Senyum yang hilang mulai terlukis lagi. Kau bukan lagi yang kupikirkan. Aku sudah melepasmu. Meninggalkanmu disana, di ruang memori yang tak akan kubuka lagi. Mungkin, kau akan berpikir bahwa aku sangat berlebihan dalam menyikapi sebuah perpisahan. Tapi aku masa bodoh soal itu. Aku tak peduli dengan pendapatmu selepas membaca surat terbuka ini.

Kini, kau bebas bertualang kemana pun kau mau. Berbaktilah, bahagiakan orang tuamu. Tak perlu sungkan. Tak perlu berpura-pura menjaga perasaanku lagi, karena rasa iba-mu sudah tak lagi kubutuhkan. Rasa bersalah dan belas kasih mu sudah tidak ada apa-apanya lagi buatku. 

Aku hanya titip satu hal. 

Ibumu perempuan, adikmu perempuan atau mungkin anakmu kelak perempuan. Maka, perlakukanlah dengan baik kepada perempuan setelahku yang entah siapapun itu. Jaga dia, jaga kehormatannya. Perjuangkan dia jika memang menurutmu baik.

Di akhir surat ini, dengan tanpa mengurangi rasa hormatku padamu. Izinkanku untuk tak lagi mempedulikanmu.

Salam,
Dariku, yang pernah jadi perempuanmu.


Note : Artikel ini di posting juga di kompasiana



COPYRIGHT © 2017 · PERMANA BELLA | THEME BY RUMAH ES