Selasa, 05 November 2019

Apakah Menikah Adalah Solusi Terbaik Untuk Perempuan Yang Sudah Lelah Bekerja ?




“Seandainya mama ke tanah suci, doa perrrrtama yang mama panjatkan adalah semoga kamu cepat dapat jodoh, yang baik, yang sayang sama kamu, yang nerima kekurangan kamu.” 

Kata mama kemarin pagi, yang kebetulan ikut saya berangkat ke kantor. Setelahnya, saya mendadak melow. Menetes air mata ini, mengingat memang hal itu yang sedang saya hajatkan. For The Rest of My Life nya Maher Zain yang terputar di playlist semakin menambah kesenduan, tangan kiri saya bergerak cepat buru-buru mengecilkan volume. 

Mungkin ini yang namanya ikatan batin ibu dan anak. Mama seolah tau apa yang sedang saya rasakan. Selain itu, mama adalah sosok pertama yang tau seluk beluk hidup saya, mama juga orang pertama yang sangat berpengaruh dalam setiap keputusan yang saya ambil. Apapun itu, semua pasti saya tanya ke beliau. Termasuk pembicaraan sakral kemarin.

“Gimana menurut mama ? Aku nggak mau ngerepotin mama sama papa”

“Kalo kamu sudah capek kerja, capek menghadapi semuanya sendirian sementara kamu nggak mau ngerepotin mama sama papa, mungkin udah waktunya kamu menikah. Hati kamu digerakan dengan semua ini. Sekuat-kuatnya perempuan, suatu saat pasti butuh laki-laki untuk bersandar.”

Hati rasanya seperti dihujam ribuan tusuk gigi. Diam adalah jawaban saya .

Akhir-akhir ini saya memang banyak mengeluh soal pekerjaan saya sama beliau. Sebenarnya masalahnya nggak sepelik buka bumbu minyak indomie pakai tangan, tapi tetap aja impact nya benar-benar terasa . Mama sempat bilang saya overthinking, tapi sebenarnya nggak. Saya tipikal orang yang struktural, yang kalo apa-apa harus disiapkan dengan matang. Termasuk pernikahan.

Kemudian semua kegundahan dan kegelisahan saya terangkum dalam sebuah pertanyaan :

Apakah menikah adalah solusi terbaik untuk perempuan yang sudah lelah  bekerja ?

Saya mengerti. Lelah yang dimaksud bukan lelah yang pegal-pegal, kram, kebas, kesemutan dll. Tapi lelah secara batiniah. Semua perempuan pasti punya pandangan tersendiri tentang hal ini. Tapi bagi saya pribadi, saya nggak mau menjadikan pernikahan sebagai sebuah pelarian.

Capek kuliah, nikah
Capek kerja, nikah.

Nggak semua permasalahan bisa di selesaikan dengan menikah. Alasan kedua yang paling bikin greget. Capek kerja, nikah. Dan menikah seolah jadi tanda menyerah atas semua rasa lelah.

Siap menikah sudah harus siap segalanya. Siap menjadi istri, siap punya mertua, siap dengan pekerjaan rumah, siap rajin dan yang paling utama, siap menjadi ibu. Jadi ibu adalah pekerjaan paling berat. Nggak digaji, hanya dibayar pahala. Ngurus anak, ngurus suami, ngurus keuangan dan ngurus semuanya. 

Oke, jangan bahas jadi ibu dulu. 

Mari mulai dari fase pertama ; menyiapkan pernikahan. 

(Maaf) dalam ajaran saya, pernikahan itu nggak dipersulit, mahar pun nggak diwajibkan dalam bentuk nominal atau barang. Lalu kenapa dalam pernikahan biasanya selalu ada perayaan ? Baik yang sederhana maupun secara megah ? 

Ya sebagai pengungakapan rasa syukur, belum lagi soal budaya, banyak toh budaya kita yang mewajibkan adanya perayaan megah dalam upacara pernikahan. 

Nggak jarang juga banyak resepsi pernikahan yang dilakukan karena permintaan orang tua. Orang tua dari suku A pengennya dirayakan dengan adat suku A, kalo keduanya beda suku, dirayakan dengan dua adat. Resepsi semacam itu sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kalo nikah sama anak pejabat. Siaap-siaaap nyebarin buanyak undangan, uhuk.

Memilih WO, menentukan tanggal pernikahan, mencari wedding dress, gedung, dll itu ribeeet. Karena saya sudah liat dari persiapan pernikanan sepupu dan abang saya. Menikah bukan cuma sekadar SAH!, sebelumnya ada proses lamaran/khitbah, pengajian/tasyakuran, persiapan segala macem. Baru deh nikah. 

Saya sendiri adalah tipikal teteh-teteh santuy yang nggak banyak menuntut perihal perayaan pernikahan. Mau secara megah, Alhamdulillah. Mau secara sederhana pun tak apa, karena pernikahan yang sesungguhnya bukan dinilai dari sebuah perayaan tapi perubahan hidup yang terjadi setelahnya.

Daripada melakukan resepsi berlebihan, lebih baik budgetnya dipakai untuk honeymoon keluar negeri. Mueheeee.

Fase kedua, menjadi istri.

Menyangkut soal istri, mama saya sering sekali ngasih wejangan. Beliau membentuk karakter saya dari sekarang supaya nantinya nggak ‘kaget’ saat menikah.

“Jangan anggap mertua seperti orang lain, perlakukan dan sayangi mertua layaknya orang tua sendiri”

“Harus jadi istri yang nurut dan menghormati suami. Surga istri ada di suami, surga suami tetap di ibunya. Jadi biarpun sudah jadi istri, nggak boleh menggeser kedudukan ibunya suami sebagai prioritas”

“Kalo suami pulang jumatan, cium tangannya.”

“Kalo suami mau makan, sendokin nasi & lauknya ke piring, air minumnya juga jangan lupa.”

“BANGOOONNN!!! ANAK PERAWAN WAYAH GINI BELOM BANGUN GUSTII NU AGUNG, NYAPU KEK APA KEK.”

Dialog terakhir sering terdengar lantang kalo saya bangun kesiangan pas nginep di rumah orang tua hehe. 

Banyak kebiasaan yang harus dirubah ketika sudah menjadi istri. Yang tadinya punya kendali penuh atas semua keputusan, setelah menikah semua harus di diskusikan berdua. Menyatukan visi-misi dari dua kepala yang berbeda juga nggak selamanya mudah biarpun di dasari cinta. 

Rumah tangga  itu layaknya sepasang kaki yang dituntut untuk kompak dalam melangkah. Kalo yang satu cacat, bisa pincang.

Fase kedua ; menjadi ibu.

Dari yang saya lihat, banyak ibu-ibu yang menjalankan perannya full sebagai ibu dan melupakan perannya sebagai istri. Suami juga butuh diperhatikan, suami juga butuh diurus, disiapkan kebutuhannya. Persentase perannya 100% ke anak dan suami jadi terbengkalai. 

Ini bukan judging statement, saya nggak berani menghakimi karena saya sendiri belum merasakan secara langsung bagaimana rasanya menjadi istri atau menjadi ibu.

Ini sebagai pembelajaran untuk saya, kamu dan kita semua yang perempuan kalo jadi istri apalagi jadi ibu itu nggak gampang!

Menikah bukan cuma soal enak dan ena-ena nya doang. Terutama dalam hal mendidik anak. Hampir semua membenarkan kalo ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Ngajarin anak ngomong, ngajarin baca, ngajarin hal-hal moral dan ngajarin semuanya. Nggak ada tenggang waktu, sekali jadi ibu ya selamanya akan jadi ibu. Tanggung jawab sebagai ibu akan selalu melekat pada anak.

Siapa yang nggak mau menikah ? Semua orang pasti mau. Yang udah nikah nggak usah pengen lagi,  mending baku hantam aja sini.

Menikahlah kalau memang sudah siap menikah. Kalo menikah cuma didasari karena rasa lelah tapi disisi lain belum siap gimana mau menjalaninya ?

Saya juga capek kerja.
Saya juga capek kuliah.

Pun betul saya memang ingin menikah, tapi alasannya nggak sereceh karena ‘capek kerja’. Soal jodoh mah, wallahualam deh. Saya nggak mau mendikte Tuhan, memaksa Tuhan untuk cepat-cepat mempertemukan.

Cepat kalo nggak tepat mah buat apa ?

Mungkin banyak diluar sana, perempuan-perempuan yang sedang berada di fase seperti yang sedang saya rasakan sekarang. Kelihatannya memang seperti fase capek-kerja-pengen-nikah, tapi sebenarnya cuma lagi berada di fase jenuh aja kok. Yang udah bertahun-tahun kerja, yang udah merasa hidupnya gini-gini aja. Monoton.

Apalagi yang sudah kepala dua (seperti saya ) yang teman-teman seumuran sudah banyak yang menikah bahkan punya anak. Foto-foto prewedding ciamik  dan dedek bayi gemes bersliweran di instagram juga berpengaruh dalam mendorong hasrat untuk menikah. 

Tahan….. Jangan sembrono.

Make a move! Itu yang saya lakukan sekarang, mencoba hal baru dan keluar dari zona nyaman. Tapi tetap berikhtiar dengan apa yang saya sebut diatas. Saya nggak mau jadi perempuan ambyar yang dikit-dikit ngeluh. Saya juga belum ada apa-apanya,  masih butuh banyak belajar. 

Tulisan ini kan dibuat dari sudut pandang perempuan, saya kepo juga nih kalo dari sudut pandang laki-laki tuh kaya gimana hehe.

4 komentar:

  1. kalau buat laki-laki yang masih semangat bekerja, solusinya apa? :D

    BalasHapus
  2. "Cepat kalo nggak tepat mah buat apa?" Indeed. Karena setelah menikah banyak hal yang akan berubah menjadi sebuah tanggung jawab yang lebih besar untuk seumur hidup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap betul, karena menikah nggak bisa diukur dalam satuan waktu.

      Hapus

COPYRIGHT © 2017 · PERMANA BELLA | THEME BY RUMAH ES