“Seandainya mama ke tanah suci, doa
perrrrtama yang mama panjatkan adalah semoga kamu cepat dapat jodoh, yang baik,
yang sayang sama kamu, yang nerima kekurangan kamu.”
Kata mama kemarin
pagi, yang kebetulan ikut saya berangkat ke kantor. Setelahnya, saya mendadak
melow. Menetes air mata ini, mengingat memang hal itu yang sedang saya
hajatkan. For The Rest of My Life nya Maher Zain yang terputar di playlist
semakin menambah kesenduan, tangan kiri saya bergerak cepat buru-buru
mengecilkan volume.
Mungkin ini
yang namanya ikatan batin ibu dan anak. Mama seolah tau apa yang sedang saya
rasakan. Selain itu, mama adalah sosok pertama yang tau seluk beluk hidup saya,
mama juga orang pertama yang sangat berpengaruh dalam setiap keputusan yang
saya ambil. Apapun itu, semua pasti saya tanya ke beliau. Termasuk pembicaraan
sakral kemarin.
“Gimana menurut mama ? Aku nggak mau
ngerepotin mama sama papa”
“Kalo kamu sudah capek kerja, capek
menghadapi semuanya sendirian sementara kamu nggak mau ngerepotin mama sama
papa, mungkin udah waktunya kamu menikah. Hati kamu digerakan dengan semua ini.
Sekuat-kuatnya perempuan, suatu saat pasti butuh laki-laki untuk bersandar.”
Hati rasanya
seperti dihujam ribuan tusuk gigi. Diam adalah jawaban saya .
Akhir-akhir
ini saya memang banyak mengeluh soal pekerjaan saya sama beliau. Sebenarnya
masalahnya nggak sepelik buka bumbu minyak indomie pakai tangan, tapi tetap aja
impact nya benar-benar terasa . Mama
sempat bilang saya overthinking, tapi sebenarnya
nggak. Saya tipikal orang yang struktural, yang kalo apa-apa harus disiapkan
dengan matang. Termasuk pernikahan.
Kemudian semua
kegundahan dan kegelisahan saya terangkum dalam sebuah pertanyaan :
Apakah menikah adalah
solusi terbaik untuk perempuan yang sudah lelah bekerja ?
Saya
mengerti. Lelah yang dimaksud bukan lelah yang pegal-pegal, kram, kebas,
kesemutan dll. Tapi lelah secara batiniah. Semua perempuan pasti punya pandangan
tersendiri tentang hal ini. Tapi bagi saya pribadi, saya nggak mau menjadikan
pernikahan sebagai sebuah pelarian.
Capek kuliah,
nikah
Capek kerja,
nikah.
Nggak semua
permasalahan bisa di selesaikan dengan menikah. Alasan kedua yang paling bikin
greget. Capek kerja, nikah. Dan menikah seolah jadi tanda menyerah atas semua rasa
lelah.
Siap menikah
sudah harus siap segalanya. Siap menjadi istri, siap punya mertua, siap dengan pekerjaan
rumah, siap rajin dan yang paling utama, siap menjadi ibu. Jadi ibu adalah
pekerjaan paling berat. Nggak digaji, hanya dibayar pahala. Ngurus anak, ngurus
suami, ngurus keuangan dan ngurus semuanya.
Oke, jangan bahas jadi ibu dulu.
Mari mulai dari fase pertama ; menyiapkan pernikahan.
(Maaf) dalam ajaran saya, pernikahan
itu nggak dipersulit, mahar pun nggak diwajibkan dalam bentuk nominal atau
barang. Lalu kenapa dalam pernikahan biasanya selalu ada perayaan ? Baik yang
sederhana maupun secara megah ?
Ya sebagai pengungakapan rasa syukur,
belum lagi soal budaya, banyak toh budaya
kita yang mewajibkan adanya perayaan megah dalam upacara pernikahan.
Nggak jarang juga banyak resepsi pernikahan
yang dilakukan karena permintaan orang tua. Orang tua dari suku A pengennya dirayakan
dengan adat suku A, kalo keduanya beda suku, dirayakan dengan dua adat. Resepsi
semacam itu sudah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kalo
nikah sama anak pejabat. Siaap-siaaap nyebarin buanyak undangan, uhuk.
Memilih WO, menentukan tanggal
pernikahan, mencari wedding dress, gedung,
dll itu ribeeet. Karena saya sudah liat dari persiapan pernikanan sepupu dan
abang saya. Menikah bukan cuma sekadar SAH!,
sebelumnya ada proses lamaran/khitbah, pengajian/tasyakuran, persiapan
segala macem. Baru deh nikah.
Saya sendiri adalah tipikal
teteh-teteh santuy yang nggak banyak menuntut perihal perayaan pernikahan. Mau
secara megah, Alhamdulillah. Mau secara sederhana pun tak apa, karena
pernikahan yang sesungguhnya bukan dinilai dari sebuah perayaan tapi perubahan hidup
yang terjadi setelahnya.
Daripada melakukan resepsi berlebihan,
lebih baik budgetnya dipakai untuk honeymoon
keluar negeri. Mueheeee.
Fase kedua, menjadi istri.
Menyangkut
soal istri, mama saya sering sekali ngasih wejangan. Beliau membentuk karakter
saya dari sekarang supaya nantinya nggak ‘kaget’ saat menikah.
“Jangan anggap mertua seperti orang
lain, perlakukan dan sayangi mertua layaknya orang tua sendiri”
“Harus jadi istri yang nurut dan
menghormati suami. Surga istri ada di suami, surga suami tetap di ibunya. Jadi
biarpun sudah jadi istri, nggak boleh menggeser kedudukan ibunya suami sebagai
prioritas”
“Kalo suami pulang jumatan, cium
tangannya.”
“Kalo suami mau makan, sendokin nasi
& lauknya ke piring, air minumnya juga jangan lupa.”
“BANGOOONNN!!! ANAK PERAWAN WAYAH
GINI BELOM BANGUN GUSTII NU AGUNG, NYAPU KEK APA KEK.”
Dialog
terakhir sering terdengar lantang kalo saya bangun kesiangan pas nginep di
rumah orang tua hehe.
Banyak
kebiasaan yang harus dirubah ketika sudah menjadi istri. Yang tadinya punya
kendali penuh atas semua keputusan, setelah menikah semua harus di diskusikan
berdua. Menyatukan visi-misi dari dua kepala yang berbeda juga nggak selamanya
mudah biarpun di dasari cinta.
Rumah
tangga itu layaknya sepasang kaki yang
dituntut untuk kompak dalam melangkah. Kalo yang satu cacat, bisa pincang.
Fase kedua ; menjadi ibu.
Dari yang
saya lihat, banyak ibu-ibu yang menjalankan perannya full sebagai ibu dan
melupakan perannya sebagai istri. Suami juga butuh diperhatikan, suami juga
butuh diurus, disiapkan kebutuhannya. Persentase perannya 100% ke anak dan
suami jadi terbengkalai.
Ini bukan judging statement, saya nggak berani
menghakimi karena saya sendiri belum merasakan secara langsung bagaimana
rasanya menjadi istri atau menjadi ibu.
Ini sebagai pembelajaran
untuk saya, kamu dan kita semua yang perempuan kalo jadi istri apalagi jadi ibu
itu nggak gampang!
Menikah
bukan cuma soal enak dan ena-ena nya doang. Terutama dalam hal mendidik anak. Hampir
semua membenarkan kalo ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Ngajarin anak
ngomong, ngajarin baca, ngajarin hal-hal moral dan ngajarin semuanya. Nggak ada
tenggang waktu, sekali jadi ibu ya selamanya akan jadi ibu. Tanggung jawab
sebagai ibu akan selalu melekat pada anak.
Siapa yang
nggak mau menikah ? Semua orang pasti mau. Yang udah nikah nggak usah pengen
lagi, mending baku hantam aja sini.
Menikahlah
kalau memang sudah siap menikah. Kalo menikah cuma didasari karena rasa lelah
tapi disisi lain belum siap gimana mau menjalaninya ?
Saya juga
capek kerja.
Saya juga
capek kuliah.
Pun betul
saya memang ingin menikah, tapi alasannya nggak sereceh karena ‘capek kerja’. Soal
jodoh mah, wallahualam deh. Saya
nggak mau mendikte Tuhan, memaksa Tuhan untuk cepat-cepat mempertemukan.
Cepat kalo
nggak tepat mah buat apa ?
Mungkin
banyak diluar sana, perempuan-perempuan yang sedang berada di fase seperti yang
sedang saya rasakan sekarang. Kelihatannya memang seperti fase capek-kerja-pengen-nikah, tapi
sebenarnya cuma lagi berada di fase jenuh aja kok. Yang udah bertahun-tahun
kerja, yang udah merasa hidupnya gini-gini aja. Monoton.
Apalagi yang
sudah kepala dua (seperti saya ) yang teman-teman seumuran sudah banyak yang
menikah bahkan punya anak. Foto-foto prewedding
ciamik dan dedek bayi gemes bersliweran di
instagram juga berpengaruh dalam mendorong hasrat untuk menikah.
Tahan…..
Jangan sembrono.
Make a move! Itu yang saya lakukan sekarang, mencoba
hal baru dan keluar dari zona nyaman. Tapi tetap berikhtiar dengan apa yang
saya sebut diatas. Saya nggak mau jadi perempuan ambyar yang dikit-dikit ngeluh.
Saya juga belum ada apa-apanya, masih butuh
banyak belajar.
Tulisan ini
kan dibuat dari sudut pandang perempuan, saya kepo juga nih kalo dari sudut
pandang laki-laki tuh kaya gimana hehe.
kalau buat laki-laki yang masih semangat bekerja, solusinya apa? :D
BalasHapusMeniqa wkwkwk
Hapus"Cepat kalo nggak tepat mah buat apa?" Indeed. Karena setelah menikah banyak hal yang akan berubah menjadi sebuah tanggung jawab yang lebih besar untuk seumur hidup.
BalasHapusYap betul, karena menikah nggak bisa diukur dalam satuan waktu.
Hapus