Dia muncul
lagi, tak tau apa tujuannya. Ia selalu menungguku di gerbang rumah. Ketika aku
melihatnya, ia balik menatapku dengan tatapan pilu. Seperti ada yang ingin ia
sampaikan. Jangankan bertanya, menyapa pun aku tak berani. Selalu kutundukan kepala ketika lewat di
depannya. Dan matanya mengikutiku sampai aku benar-benar masuk ke dalam rumah.
Rambut
pirangnya selalu basah dan sesekali terlihat meneteskan air. Terkadang dia
hanya diam berdiri, terkadang duduk di tembok pagar sambil mengayunkan kaki.
Yang paling parah, ia pernah melempariku dengan kerikil. Dasar perempuan gila ! –caci ku dalam hati.
Karena
semakin lama aku semakin merasa terganggu, maka di malam berikutnya, aku memberanikan diri untuk menemuinya.
Dugaanku benar, Ia duduk sendirian di taman,
memandang ke langit malam yang saat itu gelap tanpa bintang.
Dari jauh ia
sudah menoleh ke arahku, saat itu juga pertama kali aku melihatnya tersenyum. Anehnya,
tanpa ada rasa takut sedikitpun, aku duduk di sebelahnya, menyingkap rambut
panjang yang menutupi sebagian wajah pucatnya. Tiba-tiba tanganku di genggamnya
erat. Genggaman yang membawa ku melintas ke waktu lampau..
Obor menerangi sepanjang jalan
setapak berbatu, perempuan itu menuntunku ke sebuah rumah belanda tua yang terletak di pinggir hutan. Dari
kejauhan terlihat seorang anak perempuan berusia tidak lebih dari 15 tahun yang
duduk sendirian di teras sambil memainkan boneka lusuh miliknya. Ia menoleh kea
rah kami. Aku kaget bukan main ! Wajahnya mirip denganku. Ia seperti aku dalam versi rambut
pirang dan perawakan khas Belanda.
Tangan perempuan kecil itu memiliki
tanda yang sama dengan tangan yang kini sedang menggenggam tanganku.
“Yvonne”
Seorang Ibu tua berperawakan pribumi muncul
dari balik pintu. Tangannya menggenggam seikat daun kelapa kering. Ia
menghampiri gadis kecil itu dan membawanya masuk ke dalam.
“Siapa dia ?” tanyaku.
Perempuan di sebelahku tak sedikit
pun menoleh, tangannya menepuk perlahan bagian dadanya, memberi isyarat bahwa
gadis kecil itu adalah dirinya.
Ku teliti wajah parau di sampingku.
Apa yang telah terjadi kepadanya ? Wajahnya cantiknya di masa kecil kini
berubah menjadi wajah yang pucat dan hancur di seperempat bagian. Bajunya
compang camping dan basah. Banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Ia seperti
bangkai berjalan.
Kemudian aku
kembali ke masa sekarang, duduk sendirian di taman, kemana perempuan itu pergi
? Aku melirik ke arah jam tangan, pukul 02.15 pagi. Terakhir yang kuingat masih pukul 22.00, saat aku baru
tiba di taman ini.
“Lho, mbak
ngapain tengah malem disini ?” tanya Pak Udin, satpam komplek ku.
“Ehehe nggak
pak, ngadem aja, enak.”
“Hati hati
nanti ditemenin sama noni basah loh.”
Aku
menjawabnya dengan senyuman lalu berjalan pulang. Warga di komplek ku mengenal
perempuan itu sebagai noni basah. Kini, aku mengenalnya sebagai Yvonne.
***
“Dasar perempuan jalang ! Mau lari
kemana kau hahahaha !”
“Tidak, tolong, lepaskan. Saya bisa
panggil orang orang !” erang perempuan Belanda itu berusaha melepaskan
genggaman.
“Silahkan teriak yang kencang, tidak
akan ada yang mendengar !” kata laki-laki yang satunya.
“Apa mau kalian ?! Lepaskan.. ah !!”
BUGH !
Satu pukulan tepat di wajah cantik
itu. Ia terhuyung dan mencoba bangkit. Nahas, kakinya ditarik oleh tiga
laki-laki yang sedari tadi mengejarnya. Tangan dan kakinya dicekal kuat-kuat.
Bajunya dirobek paksa. Ia dinodai oleh ketiga laki-laki pribumi di dalam gubuk pinggir
hutan.
Ia merengkuh pasrah, organ
kewanitaannya terasa perih karena digagahi secara beringas, matanya mencoba
meneliti wajah ketiga keparat itu. Samar samar terlihat mereka sedang kembali
berpakaian, tertawa terbahak bahak dengan sebotol tuak di tangannya.
“Wey, Badrol, kita apakan si noni ini
?”
“Hahaha kita bawa pulang saja,
takut-takut nanti malam kita mau lagi!”
“Hahahaha.” Ketiganya tertawa
“Saya mohon, hentikan…. Saya mohon…”
ringkih sang noni.
BUGH !
Tendangan keras mendarat di perutnya,
ia meringis kesakitan. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Sepasang tangan kemudian mengangkat
tubuhnya. Membawanya pergi keluar dari gubuk reyot itu.
“Tidak.. tidak… tolong hentikan…”
“Hahaha terima kasih nona manis. Kau
sangat membahagiakan kami malam ini hahahaha.” Kata laki-laki berbaju hitam,
disambut tawa teman-temannya.
“Apa salahku… apa salahku…”
“Diam kau! Ini balasan yang pantas
untuk ayahmu karena dia telah membunuh keluarga kami. Ini pun masih belum
cukup. Masih ada ibumu yang belum kami cicipi! Hahahahah.”
Satu jawaban terakhir sebelum
tubuhnya terasa tergulung gulung oleh air. Kepalanya menghantam keras tembok
pembatas. Para bajingan itu melemparnya ke dalam aliran air di bendungan.
Aku
terbangun dari mimpi. Keringatku bercucuran, tanganku gemetar ketakutan. Yvonne
ingin menyampaikan sesuatu. Ya, ia memberiku petunjuk soal itu. Aku harus
menemuinya malam ini, aku harus membantunya.
Malam telah
tiba, aku sudah mempersiapkan diri untuk menemui Yvonne. Semenjak dia
mengajakku ke masa lampau, ia tak pernah lagi terlihat di depan rumahku. Aku
harus mencarinya sendiri, kakiku melangkah cepat ke arah taman. Saat setengah
berlari tiba-tiba Yvonne muncul di tengah jalan, ia melihatku dengan tatapan
menyeramkannya.
Baru kali
ini aku melihatnya berjalan, gerakannya terpatah-patah persis seperti zombie
yang sering kutonton di TV, ia semakin mendekat. Mata kami saling bertemu, ia
membisikan sesuatu.
“Kau
menyimpan barang milikku.”
Aku
mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan benda apa yang dimaksud. Ia lalu
melirik ke arah kalung berliontin yang kupakai. Tangannya tiba-tiba menarik
paksa kalung itu sampai terlepas dan terjatuh di tanah. Dengan cepat aku
memungutnya lagi. Liontinnya terberai,
mataku tertuju pada ukiran nama di bagian dalam penutupnya.
Disitu
tertulis “Yvonne, 1930”
Ini adalah
kalung pemberian mendiang oma, beliau bilang ini adalah kalung milik nenek
buyutnya.
NIce cerpen mbak... bahasanya terasa sastranya
BalasHapusMakasihh :) Tapi ku juga masih belajar kok hehe
HapusJadi Yvonne keluarga si aku? Hmm.
BalasHapusPerjalanan ke masa lalunya terasa singkat, tapi balik-balik sudah berlalu empat jam.
Biasanya saya malah menemukan perjalanannya lama banget. Bisa berjam-jam, begitu sadar justru cuma hitungan menit.
Waktu emang bener-bener ajaib ya, pak Yoga.
HapusYaapp jadi Yvonne adalah buyutnya si aku dan hal itu juga yang mau disampaikan sama dia.
HapusSelain cinta, waktu juga bisa ajaib, Pak Dian.
HapusPace-nya cepet bangeeettt. Coba deh lebih detail lagi, pasti menyenangkan. Gue sih seneng bacanya.
BalasHapusHehe iyaa itu aslinya draft panjang dan mau dibuat 2 part tapi mager jadi kuringkas aja deh wkwkw :')
HapusGilaaa gue ngebayangin kalo jadi si cewek ini horor banget. Malem2 lari, terus dicegat sama cewek basah, maen ambil kalung lagi. Bisa auto nangis gue. :(
BalasHapusNangis di tempat doang gak sambil lari gitu ?
Hapus