Jumat, 18 Oktober 2019

Perempuan Itu Datang Lagi




Dia muncul lagi, tak tau apa tujuannya. Ia selalu menungguku di gerbang rumah. Ketika aku melihatnya, ia balik menatapku dengan tatapan pilu. Seperti ada yang ingin ia sampaikan. Jangankan bertanya, menyapa pun aku tak berani.  Selalu kutundukan kepala ketika lewat di depannya. Dan matanya mengikutiku sampai aku benar-benar masuk ke dalam rumah. 

Rambut pirangnya selalu basah dan sesekali terlihat meneteskan air. Terkadang dia hanya diam berdiri, terkadang duduk di tembok pagar sambil mengayunkan kaki. Yang paling parah, ia pernah melempariku dengan kerikil. Dasar perempuan gila ! –caci ku dalam hati.

Karena semakin lama aku semakin merasa terganggu, maka di malam berikutnya,  aku memberanikan diri untuk menemuinya. Dugaanku benar,  Ia duduk sendirian di taman, memandang ke langit malam yang saat itu gelap tanpa bintang. 

Dari jauh ia sudah menoleh ke arahku, saat itu juga pertama kali aku melihatnya tersenyum. Anehnya, tanpa ada rasa takut sedikitpun, aku duduk di sebelahnya, menyingkap rambut panjang yang menutupi sebagian wajah pucatnya. Tiba-tiba tanganku di genggamnya erat. Genggaman yang membawa ku melintas ke waktu lampau..

Obor menerangi sepanjang jalan setapak berbatu, perempuan itu menuntunku ke sebuah rumah belanda  tua yang terletak di pinggir hutan. Dari kejauhan terlihat seorang anak perempuan berusia tidak lebih dari 15 tahun yang duduk sendirian di teras sambil memainkan boneka lusuh miliknya. Ia menoleh kea rah kami. Aku kaget bukan main ! Wajahnya  mirip denganku. Ia seperti aku dalam versi rambut pirang dan perawakan khas Belanda.

Tangan perempuan kecil itu memiliki tanda yang sama dengan tangan yang kini sedang menggenggam tanganku. 

“Yvonne”

Seorang Ibu tua berperawakan pribumi muncul dari balik pintu. Tangannya menggenggam seikat daun kelapa kering. Ia menghampiri gadis kecil itu dan membawanya masuk ke dalam. 

“Siapa dia ?” tanyaku.

Perempuan di sebelahku tak sedikit pun menoleh, tangannya menepuk perlahan bagian dadanya, memberi isyarat bahwa gadis kecil itu adalah dirinya.

Ku teliti wajah parau di sampingku. Apa yang telah terjadi kepadanya ? Wajahnya cantiknya di masa kecil kini berubah menjadi wajah yang pucat dan hancur di seperempat bagian. Bajunya compang camping dan basah. Banyak luka lebam di sekujur tubuhnya. Ia seperti bangkai berjalan.

Kemudian aku kembali ke masa sekarang, duduk sendirian di taman, kemana perempuan itu pergi ? Aku melirik ke arah jam tangan, pukul 02.15 pagi. Terakhir  yang kuingat masih pukul 22.00, saat aku baru tiba di taman ini.

“Lho, mbak ngapain tengah malem disini ?” tanya Pak Udin, satpam komplek ku.
“Ehehe nggak pak, ngadem aja, enak.”
“Hati hati nanti ditemenin sama noni basah loh.”

Aku menjawabnya dengan senyuman lalu berjalan pulang. Warga di komplek ku mengenal perempuan itu sebagai noni basah. Kini, aku mengenalnya sebagai Yvonne.

***

“Dasar perempuan jalang ! Mau lari kemana kau hahahaha !”
“Tidak, tolong, lepaskan. Saya bisa panggil orang orang !” erang perempuan Belanda itu berusaha melepaskan genggaman.
“Silahkan teriak yang kencang, tidak akan ada yang mendengar !” kata laki-laki yang satunya.
“Apa mau kalian ?! Lepaskan.. ah !!” 

BUGH !

Satu pukulan tepat di wajah cantik itu. Ia terhuyung dan mencoba bangkit. Nahas, kakinya ditarik oleh tiga laki-laki yang sedari tadi mengejarnya. Tangan dan kakinya dicekal kuat-kuat. Bajunya dirobek paksa. Ia dinodai oleh ketiga laki-laki pribumi di dalam gubuk pinggir hutan.

Ia merengkuh pasrah, organ kewanitaannya terasa perih karena digagahi secara beringas, matanya mencoba meneliti wajah ketiga keparat itu. Samar samar terlihat mereka sedang kembali berpakaian, tertawa terbahak bahak dengan sebotol tuak di tangannya. 

“Wey, Badrol, kita apakan si noni ini ?”
“Hahaha kita bawa pulang saja, takut-takut nanti malam kita mau lagi!”
“Hahahaha.” Ketiganya tertawa
“Saya mohon, hentikan…. Saya mohon…” ringkih sang noni. 

BUGH !  

Tendangan keras mendarat di perutnya, ia meringis kesakitan. Tubuhnya lemas tak berdaya.
Sepasang tangan kemudian mengangkat tubuhnya. Membawanya pergi keluar dari gubuk reyot itu. 

“Tidak.. tidak… tolong hentikan…”
“Hahaha terima kasih nona manis. Kau sangat membahagiakan kami malam ini hahahaha.” Kata laki-laki berbaju hitam, disambut tawa teman-temannya.
“Apa salahku… apa salahku…”
“Diam kau! Ini balasan yang pantas untuk ayahmu karena dia telah membunuh keluarga kami. Ini pun masih belum cukup. Masih ada ibumu yang belum kami cicipi! Hahahahah.”
Satu jawaban terakhir sebelum tubuhnya terasa tergulung gulung oleh air. Kepalanya menghantam keras tembok pembatas. Para bajingan itu melemparnya ke dalam aliran air di bendungan. 

Aku terbangun dari mimpi. Keringatku bercucuran, tanganku gemetar ketakutan. Yvonne ingin menyampaikan sesuatu. Ya, ia memberiku petunjuk soal itu. Aku harus menemuinya malam ini, aku harus membantunya.

Malam telah tiba, aku sudah mempersiapkan diri untuk menemui Yvonne. Semenjak dia mengajakku ke masa lampau, ia tak pernah lagi terlihat di depan rumahku. Aku harus mencarinya sendiri, kakiku melangkah cepat ke arah taman. Saat setengah berlari tiba-tiba Yvonne muncul di tengah jalan, ia melihatku dengan tatapan menyeramkannya. 

Baru kali ini aku melihatnya berjalan, gerakannya terpatah-patah persis seperti zombie yang sering kutonton di TV, ia semakin mendekat. Mata kami saling bertemu, ia membisikan sesuatu.

“Kau menyimpan barang milikku.”

Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan benda apa yang dimaksud. Ia lalu melirik ke arah kalung berliontin yang kupakai. Tangannya tiba-tiba menarik paksa kalung itu sampai terlepas dan terjatuh di tanah. Dengan cepat aku memungutnya lagi. Liontinnya terberai,  mataku tertuju pada ukiran nama di bagian dalam penutupnya. 

Disitu tertulis “Yvonne, 1930”
Ini adalah kalung pemberian mendiang oma, beliau bilang ini adalah kalung milik nenek buyutnya.

10 komentar:

  1. NIce cerpen mbak... bahasanya terasa sastranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasihh :) Tapi ku juga masih belajar kok hehe

      Hapus
  2. Jadi Yvonne keluarga si aku? Hmm.

    Perjalanan ke masa lalunya terasa singkat, tapi balik-balik sudah berlalu empat jam.

    Biasanya saya malah menemukan perjalanannya lama banget. Bisa berjam-jam, begitu sadar justru cuma hitungan menit.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu emang bener-bener ajaib ya, pak Yoga.

      Hapus
    2. Yaapp jadi Yvonne adalah buyutnya si aku dan hal itu juga yang mau disampaikan sama dia.

      Hapus
    3. Selain cinta, waktu juga bisa ajaib, Pak Dian.

      Hapus
  3. Pace-nya cepet bangeeettt. Coba deh lebih detail lagi, pasti menyenangkan. Gue sih seneng bacanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iyaa itu aslinya draft panjang dan mau dibuat 2 part tapi mager jadi kuringkas aja deh wkwkw :')

      Hapus
  4. Gilaaa gue ngebayangin kalo jadi si cewek ini horor banget. Malem2 lari, terus dicegat sama cewek basah, maen ambil kalung lagi. Bisa auto nangis gue. :(

    BalasHapus

COPYRIGHT © 2017 · PERMANA BELLA | THEME BY RUMAH ES